Ada waktu dalam hidup seseorang mengalami krisis identitas. Seringkali tidak menerima dirinya sendiri, tidak puas dengan apa yang ada padanya. Aku juga manusia yang sama, aku pernah mengalaminya. Parah? Ya, tidak terlalu parah juga. Tidak sampai begitu minder dan tidak mau bergaul tapi aku menyimpan dalam hatiku sendiri.
MALU AKAN
LATAR BELAKANG KELUARGA
![]() |
Kamu tidak bisa bersembunyi selamanya |
Suatu ketika, guru meminta kami mengisi data
termasuk tentang keluarga. Data lengkap termasuk pekerjaan, pendidikan orang
tua dan saudara. Aku melihat teman-temanku dulu, kebanyakan pekerjaan orang tua
mereka bisa dibanggakan dan pendidikan orang tua mereka tidak ada yang serendah
orang tuaku. Aku satu-satunya yang memiliki orang tua dengan pekerjaan petani
dan pendidikan terakhir mereka SD. Bahkan ibuku tidak punya ijazah SD. Malu!
Aku mengisi data tersebut dengan sembunyi-sembunyi jangan sampai teman-temanku
tahu. Kadang aku berpikir, kenapa aku dilahirkan dalam keluarga yang seperti
ini?
Rasa malu itu berlanjut sampai sekitar tahun
2010, setelah itu masih juga sampai tahun 2012 tapi tidak separah dulu. Waktu
itu pernah aku berpikir,”Bagaimana orang tuaku bisa berkomunikasi dengan baik
dengan calon suamiku dan calon mertuaku nanti? Apakah calon suamiku dan calon
mertuaku akan menerima mereka? Bagaimana aku akan mengatakan pada mereka
tentang pekerjaan dan pendidikan orang tuaku?” Yang lebih paling buruk dari pikiran-pikiranku
ini adalah akan lebih baik aku ketika menikah kedua orang tuaku sudah tidak
ada, jadi tidak perlu rasa malu itu.
I HATE MY
BODY!
Setelah malu akan latar belakang keluarga, kini
giliran body, penampilan fisikku,
bro, sist. Entah mulai kapan, aku lupa juga persisnya. Kayaknya sih, mulai SMP
juga. Maklum lah anak remaja memang masa-masa seperti itu. Akan sangat
berbahaya jika itu berlanjut sampai dewasa.
Pendek, kulit hitam dan kering, banyak bulu di
tangan dan kaki, gigi ke mana-mana (nggak rapi maksudnya), rambut tiba-tiba
berubah jadi keriting mengembang, (maaf) dada rata, selulit (maaf) on my bottom. Huh! Yang paling parah
bikin krisis adalah pendek, hitam, dan banyak bulu. Satu-satunya bagian tubuh
yang aku suka dari dulu adalah hidung karena lumayanlah hidung ini tinggi alias
mancung. Yang mengatakan itu bukan hanya aku saja, tapi banyak orang yang
ketemu aku pasti bilang begitu. Walaupun aku suka, tetap saja menurutku hidung
kakakku lebih mancung dan lebih bagus dari pada punyaku.
Segala macam cara kulakukan untuk
menghilangkan rasa malu atas fisik ini. Supaya nggak pendek, aku selalu minum
susu, olah raga dengan metode ini dan itu. Cari di internet susu atau suplemen
peninggi badan, walau akhirnya nggak beli juga. Membandingkan tinggi dengan si
ini dan si itu. Bahkan sampai berdoa tumpang tangan ke kaki supaya lebih
tinggi. Guess what? Nggak ada hasilnya!
Sedihnya lagi adalah ketika SMP aku pernah di-bully karena aku tidak setinggi
teman-temanku. Paling parah adalah teman-teman laki-laki, mereka memanggilku
dengan sebutan suster ngesot. Sebel pake banget! Kadang saking sebelnya aku
laporin guru. Tapi ya tetep aja diejek terus! Ini yang membuat aku yang remaja
ingin berusaha sekeras-kerasnya supaya bisa punya tubuh tinggi. Secara aku dulu
pernah ingin jadi Putri Indonesia juga tapi impian itu kandas karena tinggi
badan yang kurang.
Sedangkan untuk menghilangkan kulit hitam
(sebenarnya nggak hitam juga, agak gelap dibandingkan kakakku), aku pergi ke
salon untuk luluran, pake hand body lotion
ini itu. Luluran ini itu, gonta-ganti sabun, minum suplemen vitamin e. Nggak
sampai minum pemutih juga sih!
Bulu-bulu ini oh! Bahkan kadang teman-teman
cowokku tak memiliki bulu tangan sebanyak ini. Waktu SMP pernah aku
mengguntingnya, jangan tanya apa hasilnya, malah lebih panjang dan tebal.
Hahaha. Setelah gede pake cream pencukur rambut tapi ya tetep aja tumbuh lagi.
Mau rutin, malas juga. Mau bersihin di klinik, eman-eman juga duitnya.
KELUAR DARI
RASA MALU AKAN LATAR BELAKANG KELUARGA
![]() |
When you love your self, life is getting easier |
Ketika hidup sudah mulai tidak tenang karena
menyembunyikan segala sesuatu tentang orang tuaku, aku sadar ini pasti salah.
Ketika SMA aku mecoba untuk tidak menyembunyikan tentang latar belakang keluargaku.
Tapi tetap saja tidak semuanya aku ceritakan, hanya apa yang membanggakan saja.
Suatu ketika salah satu teman SMA ku bertanya apa pekerjaan orang tuaku dan aku
menjawab bahwa mereka petani. Lalu dia kaget dan bilang, “Aku nggak nyangka lho
kalau orang tuamu petani.” Bukannya bangga pada orang tuaku, tapi apa yang ada
di pikiranku saat itu adalah bangga akan diriku sendiri. “Aku memang tidak
pantas jadi anaknya petani, harusnya orang tuaku pejabat atau apa lah yang
lebih berkelas,” begitu pikirku.
Pertengahan tahun 2010, setelah lulus SMA, aku
pindah gereja dan inilah saat dimulainya pertarungan. Melawan siapa? Tentu
melawan diri sendiri. Di gereja inilah aku semakin taat ibadah, rajin berdoa,
dan baca Alkitab. Aku merasakan semakin dekat dengan Tuhan. Hatiku tidak pernah
tenang ketika aku menyembunyikan segala sesuatu tentang latar belakang
keluargaku. Aku mulai merenung dan bertanya pada Tuhan. Lalu aku menemukan
jawaban bahwa aku harus melihat segala sesuatu yang telah dilakukan orang tuaku
untuk aku.
Suatu ketika ada teman laki-laki yang menyukai
aku. Ibunya dia modis, tasnya satu lemari penuh. Sementara ibuku? Disuruh modis
aja nggak mau. Aku berani bilang,”Orang tuaku Cuma petani, lulusan SD bahkan
ibuku nggak lulus SD, gimana menurutmu.” Dan dia menjawab,”Ya nggak masalah.
Aku malah bangga lho sama mereka bisa membesarkan anak yang seperti kamu.”
Dalam hatiku bilang,”Halahhh, ini sih karena ada maunya doank!” Tapi setidaknya
waktu itu aku sudah mulai berani membuka latar belakang keluargaku.
Semakin hari semakin aku dekat dengan Tuhan,
aku semakin menerima latar belakang keluargaku. Bertahun-tahun aku melawan rasa
malu atas latar belakang keluarga. Pada suatu titik aku menemukan sesuatu yang
amat berharga. Dalam hidup ini ada yang bisa kita pilih dan ada yang tidak bisa
kita pilih. Kita tidak bisa memilih dari keluarga seperti apa kita akan
dilahirkan. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita. Kita tidak bisa
memilih latar belakang keluarga kita tapi kita bisa memilih mau menjadi orang
yang seperti apa di masa depan. Kalau Tuhan menempatkan aku di keluarga ini
pasti ada tujuannya.
Lalu apa tujuan Tuhan menempatkan aku di
keluarga ini? Supaya aku rendah hati jika bisa melakukan segala sesuatu
semuanya bukan karena diriku atau kemampuan keluargaku tapi karena Tuhan
menyertai aku. Supaya aku mengerti bagaimana memulai segala sesuatu dari bawah.
Supaya aku tahu bahwa Tuhan bisa memakai siapa saja tanpa mempedulikan latar
belakang mereka. Saat itulah aku memulai hubungan yang baik dengan orang tuaku,
aku mulai terbuka dan menceritakan segala sesuatu kepada mereka. Aku tidak lagi
menyembunyikan latar belakang keluargaku. Aku tidak lagi malu menceritakan
tentang orang tuaku ketika ada orang yang bertanya. Tidak ada lagi pengisian
formulir yang harus diisi dengan sembunyi-sembunyi.
Tahun 2012 ketika aku mendaftar kuliah dan
petugas pendaftarannya menanyakan apa pekerjaan orang tuaku, dengan tegas aku
menjawab,”Petani”. Ketika petugas pendaftaran menanyakan apa pendidikan orang
tuaku, aku menjawab dengan jelas,”SD”. Well done my self! Tapi ini pun bukan
berarti tanpa ketidaknyamanan. Sejujurnya sambil aku menjawab, dalam dada ada
rasa panas, sesak, karena menahan rasa malu. Selanjutnya bagaimana? Sudah
terbuka tapi masih sedikit malu-malu. Levelnya sudah berbeda dari yang dulu,
sudah lebih baik.
Rasa malu akan latar belakang keluarga
akhirnya ditumpas habis pada satu event di tahun 2016. Waktu itu aku ditunjuk
untuk menjadi pembicara dalam pembukaan retreat anak sekolah minggu di gereja.
Setelah sekian lama pelayanan inilah pertama kalinya aku menjadi pembicara
dalam retreat tersebut. Jauh-jauh hari sudah aku persiapkan secara roh, jiwa
dan tubuh. Mendekati hari pelaksanaan, tiba-tiba aku batuk dan suara habis.
Ingin sekali mundur tapi apa yang ada dalam diriku berkata,”Lanjutkan, Tuhan
yang akan memberimu kekuatan”. Sebelum masuk ke aula, aku berdoa dulu di kamar.
Di sinilah ada dorongan yang kuat yang berkata,”Kamu harus menceritakan kisahmu
yang malu sama orang tuamu”. Selesai berdoa, aku melangkah menuju aula. Yakin
akan berbicara tentang kisah itu. Tapi tiba-tiba sebelum maju berbicara di
depan, aku bertarung dengan diri sendiri. Bagaimana
nanti reaksi anak-anak? Bagaimana jika nanti teman-temanku pelayanan tahu
tentang semua ini. Aku malu Tuhan. Kemudian aku maju dan berbicara dengan
lancar sampai pada bagian akhir, aku harus menceritakan kisah malu itu. Masih
bergumul? Ya, bahkan ketika itu aku sedikit terbata-bata. Mau nangis? Yes!
Rasanya nggak pengen omong lagi udah stop nggak usah cerita tentang kisah ini. Tapi
bibirku danlidahku bergerak tanpa aku kontrol dan menceritakan kisah hidupku
itu. Panas rasanya di wajah dan di kepala tapi dingin di kaki. Sedikit
terbata-bata dan menahan tangis. Suatu kalimat terakhir muncul dari mulutku,”Pada
akhirnya aku bangga dengan orang tuaku, bahkan Bapakku melayani Tuhan sampai
akhir hidupnya”. Terserahlah orang mau
memandang rendah aku setelah ini. Tapi suatu kejutan untukku, setelah
selesai sesi pembukaan itu, beberapa orang teman bilang padaku bahwa mereka
merasa diberkati. Beberapa memeluk dan menyalami dan berkata, “Bagus”. Haaaahhh
lega banget rasanya. Mereka menerima diriku apa adanya, termasuk latar
belakangku. Selesai sudah pertarungan dengan diri sendiri tentang masalah ini!
Pada akhirnya kesaksian hidupkulah yang memenangkan aku. I am a winner!
I LOVE MYSELF
NO MATTER WHAT!
Untuk menerima fisikku sebagaimana Tuhan
menciptakannya juga adalah sebuah proses yang panjang. Diawali dari tahun Juli
2010, ketika aku pindah gereja, untuk memulai sebuah perjalanan rohani aku
mengikuti retreat yang diselenggarakan oleh gereja. Di situlah benih pemulihan
gambar diriku ditanam dan hubungan dengan keluarga juga mulai membaik. Tidak langsung
sekonyong-konyong berubah. Semuanya butuh proses.
Hari demi hari aku makin suka berada di rumah
Tuhan. Dalam satu hari Minggu aku bisa datang ke gereja sampai dua kali,
walaupun khotbahnya sama. Hari demi hari juga aku mengambil langkah untuk semakin
banyak berdoa dan membaca Alkitab. Semakin aku melakukannya, semakin hari aku
mengenal Tuhan dan semakin juga aku mengenal diriku sendiri dengan baik. Setiap
hari aku dituntun untuk menerima seperti apa diriku dan mengerti apa tujuan
Tuhan menciptakan aku seperti ini. Masih minder
dan pengen jadi orang lain? Masih tapi tidak sesering dulu. Bahkan karena
aku merasa aku harus beriman, aku sering
berdoa bahkan sampai tumpang tangan ke kaki dan beriman bisa tinggi. Sampai
entah berapa lama aku melakukannya dan tidak terjadi apa-apa, sampai aku lelah
sendiri.
Ya, semuanya memang proses. Aku berdoa,
membaca Alkitab, membaca buku-buku rohani, dan sampai suatu ketika aku
menemukan bahwa segala sesuatu Tuhan ciptakan pasti untuk sutu tujuan. Aku
tidak tinggi berarti Tuhan tidak menciptakan aku untuk menjadi pramugari atau
putri Indonesia. Tapi pasti ada rencana besar Tuhan yang lain. Untuk menjadi
kesaksian bagi orang lain! Itu yang pasti. Dalam proses aku juga menemukan
bahwa Tuhan memandang semua ciptaannya itu baik. Jadi, pengakuan itu sudah
lebih dari cukup. Kalau ada yang mecelaku pun aku tak akan bergeming. Mereka
mencelaku berarti mencela Tuhan, Tuhan
aja bilang aku baik, kok kamu berani-beraninya mengejek.
Seringkali ketika pikiran bahwa aku tidak
secantik dia, aku tidak setinggi dia, andai aku lebih tinggi, andai aku lebih
putih, andai rambutku mudah diatur, dan andai-andai yang lain muncul, aku
mengingatkan diriku sendiri bahwa seperti apa pun diriku, Tuhan mengasihiku. Seburuk
apa pun diriku menurut pandangan orang, Tuhan bisa memakai aku untuk melakukan
perkara-perkara yang hebat.
Inti dari semua proses yang kulalui adalah
mengubah fokus. Tidak lagi berfokus pada apa yang tidak bisa kita ubah tapi
fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Aku telah berusaha mengubah tinggi badan
dengan olah raga dan berdoa, lengkap
bukan?, tapi ketika itu tak berubah, maka yang bisa aku lakukan hanyalah
menerima dan merawat apa yang sudah Tuhan berikan. Setidaknya walau aku tidak
tinggi tapi masih enak dipandang mata dan yang paling penting adalah memuliakan
nama Tuhan dalam segala keadaan. Aku pun masih bisa menjadi putri Indonesia
tanpa harus mengikuti ajang kecantikan Putri Indonesia dengan mengabdikan diri
untuk membangun bangsa ini.
Yang terakhir tapi tak kalah pentingnya adalah
kesaksian. Semua hal yang pernah aku alami seperti di-bully karena tinggi badan, aku sering ceritakan kepada anak-anak
sekolah Minggu. Aku ceritakan segala proses yang aku lalui sampai aku menerima
diriku sendiri apa adanya dan mengasihi diriku ini. Di situlah kelemahan
menjadi kelebihan, suatu berkat bagi orang lain.
Sekarang, mau diejek seperti apa pun sudah
nggak akan sakit hati. Aku sudah tahu bahwa semua yang tidak bisa aku ubah,
seperti latar belakang keluarga dan keadaan fisik, semuanya pasti untuk sebuah
cerita. Hidup ku ini adalah untuk cerita yang dibuat oleh Tuhan. Untuk suatu
peran yang tidak akan bisa dilakukan oleh siapa pun. My life is His story. Aku
unik dan tidak akan ada yang menyamainya. That’s why I love myself no matter
what J
Jika aku mulai goyah, aku memperkatakan ayat
ini “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi
engkau...” Yesaya 43:4a.
Terimakasih Yudith ,,, aq pernah bertemu denganmu di Komsel ... agustin
ReplyDeleteBig Hug Meta. .
ReplyDeleteGood Job!