Skip to main content

My Life HIS Story (1) : Menerima Diriku Sendiri



Ada waktu dalam hidup seseorang mengalami krisis identitas. Seringkali tidak menerima dirinya sendiri, tidak puas dengan apa yang ada padanya. Aku juga manusia yang sama, aku pernah mengalaminya. Parah? Ya, tidak terlalu parah juga. Tidak sampai begitu minder dan tidak mau bergaul tapi aku menyimpan dalam hatiku sendiri.

MALU AKAN LATAR BELAKANG KELUARGA
Kamu tidak bisa bersembunyi selamanya
Krisis pertama kualami ketika SMP. Sekolah di SMP terbaik di kabupaten tempat aku berasal, betapa bangganya. Orang berpikir aku pandai, mereka yang berpikir demikian, bukan aku. Di sini aku bertemu dengan teman-teman yang kaya, dari keluarga terpandang, setidaknya pekerjaan orang tua mereka adalah profesional, dan pendidikan orang tuanya cukup bagus.

Suatu ketika, guru meminta kami mengisi data termasuk tentang keluarga. Data lengkap termasuk pekerjaan, pendidikan orang tua dan saudara. Aku melihat teman-temanku dulu, kebanyakan pekerjaan orang tua mereka bisa dibanggakan dan pendidikan orang tua mereka tidak ada yang serendah orang tuaku. Aku satu-satunya yang memiliki orang tua dengan pekerjaan petani dan pendidikan terakhir mereka SD. Bahkan ibuku tidak punya ijazah SD. Malu! Aku mengisi data tersebut dengan sembunyi-sembunyi jangan sampai teman-temanku tahu. Kadang aku berpikir, kenapa aku dilahirkan dalam keluarga yang seperti ini?

Rasa malu itu berlanjut sampai sekitar tahun 2010, setelah itu masih juga sampai tahun 2012 tapi tidak separah dulu. Waktu itu pernah aku berpikir,”Bagaimana orang tuaku bisa berkomunikasi dengan baik dengan calon suamiku dan calon mertuaku nanti? Apakah calon suamiku dan calon mertuaku akan menerima mereka? Bagaimana aku akan mengatakan pada mereka tentang pekerjaan dan pendidikan orang tuaku?” Yang lebih paling buruk dari pikiran-pikiranku ini adalah akan lebih baik aku ketika menikah kedua orang tuaku sudah tidak ada, jadi tidak perlu rasa malu itu.

I HATE MY BODY!
Setelah malu akan latar belakang keluarga, kini giliran body, penampilan fisikku, bro, sist. Entah mulai kapan, aku lupa juga persisnya. Kayaknya sih, mulai SMP juga. Maklum lah anak remaja memang masa-masa seperti itu. Akan sangat berbahaya jika itu berlanjut sampai dewasa.

Pendek, kulit hitam dan kering, banyak bulu di tangan dan kaki, gigi ke mana-mana (nggak rapi maksudnya), rambut tiba-tiba berubah jadi keriting mengembang, (maaf) dada rata, selulit (maaf) on my bottom. Huh! Yang paling parah bikin krisis adalah pendek, hitam, dan banyak bulu. Satu-satunya bagian tubuh yang aku suka dari dulu adalah hidung karena lumayanlah hidung ini tinggi alias mancung. Yang mengatakan itu bukan hanya aku saja, tapi banyak orang yang ketemu aku pasti bilang begitu. Walaupun aku suka, tetap saja menurutku hidung kakakku lebih mancung dan lebih bagus dari pada punyaku.

Segala macam cara kulakukan untuk menghilangkan rasa malu atas fisik ini. Supaya nggak pendek, aku selalu minum susu, olah raga dengan metode ini dan itu. Cari di internet susu atau suplemen peninggi badan, walau akhirnya nggak beli juga. Membandingkan tinggi dengan si ini dan si itu. Bahkan sampai berdoa tumpang tangan ke kaki supaya lebih tinggi. Guess what? Nggak ada hasilnya!

Sedihnya lagi adalah ketika SMP aku pernah di-bully karena aku tidak setinggi teman-temanku. Paling parah adalah teman-teman laki-laki, mereka memanggilku dengan sebutan suster ngesot. Sebel pake banget! Kadang saking sebelnya aku laporin guru. Tapi ya tetep aja diejek terus! Ini yang membuat aku yang remaja ingin berusaha sekeras-kerasnya supaya bisa punya tubuh tinggi. Secara aku dulu pernah ingin jadi Putri Indonesia juga tapi impian itu kandas karena tinggi badan yang kurang.

Sedangkan untuk menghilangkan kulit hitam (sebenarnya nggak hitam juga, agak gelap dibandingkan kakakku), aku pergi ke salon untuk luluran, pake hand body lotion ini itu. Luluran ini itu, gonta-ganti sabun, minum suplemen vitamin e. Nggak sampai minum pemutih juga sih!
Bulu-bulu ini oh! Bahkan kadang teman-teman cowokku tak memiliki bulu tangan sebanyak ini. Waktu SMP pernah aku mengguntingnya, jangan tanya apa hasilnya, malah lebih panjang dan tebal. Hahaha. Setelah gede pake cream pencukur rambut tapi ya tetep aja tumbuh lagi. Mau rutin, malas juga. Mau bersihin di klinik, eman-eman juga duitnya.

KELUAR DARI RASA MALU AKAN LATAR BELAKANG KELUARGA
When you love your self, life is getting easier
Menerima diri kita apa adanya memang bukanlah hal yang mudah. Hampir semua orang ingin menjadi sempurna seperti yang dibayangkannya. Sayangnya, kehidupannya tidaklah demikian. Seringkali kita melihat hidup dan diri orang lain dan kita ingin menjadi seperti mereka. Saat itulah kita kehilangan siapa diri kita yang sebenarnya.

Ketika hidup sudah mulai tidak tenang karena menyembunyikan segala sesuatu tentang orang tuaku, aku sadar ini pasti salah. Ketika SMA aku mecoba untuk tidak menyembunyikan tentang latar belakang keluargaku. Tapi tetap saja tidak semuanya aku ceritakan, hanya apa yang membanggakan saja. Suatu ketika salah satu teman SMA ku bertanya apa pekerjaan orang tuaku dan aku menjawab bahwa mereka petani. Lalu dia kaget dan bilang, “Aku nggak nyangka lho kalau orang tuamu petani.” Bukannya bangga pada orang tuaku, tapi apa yang ada di pikiranku saat itu adalah bangga akan diriku sendiri. “Aku memang tidak pantas jadi anaknya petani, harusnya orang tuaku pejabat atau apa lah yang lebih berkelas,” begitu pikirku.

Pertengahan tahun 2010, setelah lulus SMA, aku pindah gereja dan inilah saat dimulainya pertarungan. Melawan siapa? Tentu melawan diri sendiri. Di gereja inilah aku semakin taat ibadah, rajin berdoa, dan baca Alkitab. Aku merasakan semakin dekat dengan Tuhan. Hatiku tidak pernah tenang ketika aku menyembunyikan segala sesuatu tentang latar belakang keluargaku. Aku mulai merenung dan bertanya pada Tuhan. Lalu aku menemukan jawaban bahwa aku harus melihat segala sesuatu yang telah dilakukan orang tuaku untuk aku.

Suatu ketika ada teman laki-laki yang menyukai aku. Ibunya dia modis, tasnya satu lemari penuh. Sementara ibuku? Disuruh modis aja nggak mau. Aku berani bilang,”Orang tuaku Cuma petani, lulusan SD bahkan ibuku nggak lulus SD, gimana menurutmu.” Dan dia menjawab,”Ya nggak masalah. Aku malah bangga lho sama mereka bisa membesarkan anak yang seperti kamu.” Dalam hatiku bilang,”Halahhh, ini sih karena ada maunya doank!” Tapi setidaknya waktu itu aku sudah mulai berani membuka latar belakang keluargaku.

Semakin hari semakin aku dekat dengan Tuhan, aku semakin menerima latar belakang keluargaku. Bertahun-tahun aku melawan rasa malu atas latar belakang keluarga. Pada suatu titik aku menemukan sesuatu yang amat berharga. Dalam hidup ini ada yang bisa kita pilih dan ada yang tidak bisa kita pilih. Kita tidak bisa memilih dari keluarga seperti apa kita akan dilahirkan. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita. Kita tidak bisa memilih latar belakang keluarga kita tapi kita bisa memilih mau menjadi orang yang seperti apa di masa depan. Kalau Tuhan menempatkan aku di keluarga ini pasti ada tujuannya.

Lalu apa tujuan Tuhan menempatkan aku di keluarga ini? Supaya aku rendah hati jika bisa melakukan segala sesuatu semuanya bukan karena diriku atau kemampuan keluargaku tapi karena Tuhan menyertai aku. Supaya aku mengerti bagaimana memulai segala sesuatu dari bawah. Supaya aku tahu bahwa Tuhan bisa memakai siapa saja tanpa mempedulikan latar belakang mereka. Saat itulah aku memulai hubungan yang baik dengan orang tuaku, aku mulai terbuka dan menceritakan segala sesuatu kepada mereka. Aku tidak lagi menyembunyikan latar belakang keluargaku. Aku tidak lagi malu menceritakan tentang orang tuaku ketika ada orang yang bertanya. Tidak ada lagi pengisian formulir yang harus diisi dengan sembunyi-sembunyi.

Tahun 2012 ketika aku mendaftar kuliah dan petugas pendaftarannya menanyakan apa pekerjaan orang tuaku, dengan tegas aku menjawab,”Petani”. Ketika petugas pendaftaran menanyakan apa pendidikan orang tuaku, aku menjawab dengan jelas,”SD”. Well done my self! Tapi ini pun bukan berarti tanpa ketidaknyamanan. Sejujurnya sambil aku menjawab, dalam dada ada rasa panas, sesak, karena menahan rasa malu. Selanjutnya bagaimana? Sudah terbuka tapi masih sedikit malu-malu. Levelnya sudah berbeda dari yang dulu, sudah lebih baik.

Rasa malu akan latar belakang keluarga akhirnya ditumpas habis pada satu event di tahun 2016. Waktu itu aku ditunjuk untuk menjadi pembicara dalam pembukaan retreat anak sekolah minggu di gereja. Setelah sekian lama pelayanan inilah pertama kalinya aku menjadi pembicara dalam retreat tersebut. Jauh-jauh hari sudah aku persiapkan secara roh, jiwa dan tubuh. Mendekati hari pelaksanaan, tiba-tiba aku batuk dan suara habis. Ingin sekali mundur tapi apa yang ada dalam diriku berkata,”Lanjutkan, Tuhan yang akan memberimu kekuatan”. Sebelum masuk ke aula, aku berdoa dulu di kamar. Di sinilah ada dorongan yang kuat yang berkata,”Kamu harus menceritakan kisahmu yang malu sama orang tuamu”. Selesai berdoa, aku melangkah menuju aula. Yakin akan berbicara tentang kisah itu. Tapi tiba-tiba sebelum maju berbicara di depan, aku bertarung dengan diri sendiri. Bagaimana nanti reaksi anak-anak? Bagaimana jika nanti teman-temanku pelayanan tahu tentang semua ini. Aku malu Tuhan. Kemudian aku maju dan berbicara dengan lancar sampai pada bagian akhir, aku harus menceritakan kisah malu itu. Masih bergumul? Ya, bahkan ketika itu aku sedikit terbata-bata. Mau nangis? Yes! Rasanya nggak pengen omong lagi udah stop nggak usah cerita tentang kisah ini. Tapi bibirku danlidahku bergerak tanpa aku kontrol dan menceritakan kisah hidupku itu. Panas rasanya di wajah dan di kepala tapi dingin di kaki. Sedikit terbata-bata dan menahan tangis. Suatu kalimat terakhir muncul dari mulutku,”Pada akhirnya aku bangga dengan orang tuaku, bahkan Bapakku melayani Tuhan sampai akhir hidupnya”. Terserahlah orang mau memandang rendah aku setelah ini. Tapi suatu kejutan untukku, setelah selesai sesi pembukaan itu, beberapa orang teman bilang padaku bahwa mereka merasa diberkati. Beberapa memeluk dan menyalami dan berkata, “Bagus”. Haaaahhh lega banget rasanya. Mereka menerima diriku apa adanya, termasuk latar belakangku. Selesai sudah pertarungan dengan diri sendiri tentang masalah ini! Pada akhirnya kesaksian hidupkulah yang memenangkan aku. I am a winner!

I LOVE MYSELF NO MATTER WHAT!
Untuk menerima fisikku sebagaimana Tuhan menciptakannya juga adalah sebuah proses yang panjang. Diawali dari tahun Juli 2010, ketika aku pindah gereja, untuk memulai sebuah perjalanan rohani aku mengikuti retreat yang diselenggarakan oleh gereja. Di situlah benih pemulihan gambar diriku ditanam dan hubungan dengan keluarga juga mulai membaik. Tidak langsung sekonyong-konyong berubah. Semuanya butuh proses.

Hari demi hari aku makin suka berada di rumah Tuhan. Dalam satu hari Minggu aku bisa datang ke gereja sampai dua kali, walaupun khotbahnya sama. Hari demi hari juga aku mengambil langkah untuk semakin banyak berdoa dan membaca Alkitab. Semakin aku melakukannya, semakin hari aku mengenal Tuhan dan semakin juga aku mengenal diriku sendiri dengan baik. Setiap hari aku dituntun untuk menerima seperti apa diriku dan mengerti apa tujuan Tuhan menciptakan aku seperti ini. Masih minder dan pengen jadi orang lain? Masih tapi tidak sesering dulu. Bahkan karena aku  merasa aku harus beriman, aku sering berdoa bahkan sampai tumpang tangan ke kaki dan beriman bisa tinggi. Sampai entah berapa lama aku melakukannya dan tidak terjadi apa-apa, sampai aku lelah sendiri.

Ya, semuanya memang proses. Aku berdoa, membaca Alkitab, membaca buku-buku rohani, dan sampai suatu ketika aku menemukan bahwa segala sesuatu Tuhan ciptakan pasti untuk sutu tujuan. Aku tidak tinggi berarti Tuhan tidak menciptakan aku untuk menjadi pramugari atau putri Indonesia. Tapi pasti ada rencana besar Tuhan yang lain. Untuk menjadi kesaksian bagi orang lain! Itu yang pasti. Dalam proses aku juga menemukan bahwa Tuhan memandang semua ciptaannya itu baik. Jadi, pengakuan itu sudah lebih dari cukup. Kalau ada yang mecelaku pun aku tak akan bergeming. Mereka mencelaku berarti mencela Tuhan, Tuhan aja bilang aku baik, kok kamu berani-beraninya mengejek.

Seringkali ketika pikiran bahwa aku tidak secantik dia, aku tidak setinggi dia, andai aku lebih tinggi, andai aku lebih putih, andai rambutku mudah diatur, dan andai-andai yang lain muncul, aku mengingatkan diriku sendiri bahwa seperti apa pun diriku, Tuhan mengasihiku. Seburuk apa pun diriku menurut pandangan orang, Tuhan bisa memakai aku untuk melakukan perkara-perkara yang hebat.

Inti dari semua proses yang kulalui adalah mengubah fokus. Tidak lagi berfokus pada apa yang tidak bisa kita ubah tapi fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Aku telah berusaha mengubah tinggi badan dengan olah raga dan berdoa, lengkap bukan?, tapi ketika itu tak berubah, maka yang bisa aku lakukan hanyalah menerima dan merawat apa yang sudah Tuhan berikan. Setidaknya walau aku tidak tinggi tapi masih enak dipandang mata dan yang paling penting adalah memuliakan nama Tuhan dalam segala keadaan. Aku pun masih bisa menjadi putri Indonesia tanpa harus mengikuti ajang kecantikan Putri Indonesia dengan mengabdikan diri untuk membangun bangsa ini.

Yang terakhir tapi tak kalah pentingnya adalah kesaksian. Semua hal yang pernah aku alami seperti di-bully karena tinggi badan, aku sering ceritakan kepada anak-anak sekolah Minggu. Aku ceritakan segala proses yang aku lalui sampai aku menerima diriku sendiri apa adanya dan mengasihi diriku ini. Di situlah kelemahan menjadi kelebihan, suatu berkat bagi orang lain.

Sekarang, mau diejek seperti apa pun sudah nggak akan sakit hati. Aku sudah tahu bahwa semua yang tidak bisa aku ubah, seperti latar belakang keluarga dan keadaan fisik, semuanya pasti untuk sebuah cerita. Hidup ku ini adalah untuk cerita yang dibuat oleh Tuhan. Untuk suatu peran yang tidak akan bisa dilakukan oleh siapa pun. My life is His story. Aku unik dan tidak akan ada yang menyamainya. That’s why I love myself no matter what J


Jika aku mulai goyah, aku memperkatakan ayat ini “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau...” Yesaya 43:4a.

Comments

  1. Terimakasih Yudith ,,, aq pernah bertemu denganmu di Komsel ... agustin

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Test IELTS di IDP, British Council, atau IALF?

Salah satu kegalauan ketika mau ambil test IELTS adalah memilih intitusi penyelenggara. Berikut ini aku akan memberikan beberapa pertimbangan supaya kamu bisa mantap memilih penyelenggara test yang tepat. BEDANYA IDP, BRITISH COUNCIL, DAN IALF IDP (International Development Program) merupakan konsultan Pendidikan untuk kamu yang mau ambik studi di luar negeri terutama di Australia, Inggris, Irlandia, Amerika, Kanada, dan Selandia Baru. IDP ada di beberapa negara selain di Indonesia, IDP ada di Malaysia, Singapore, Thailand, dan beberpa negara lainnya. IDP merupakan partner resmi dari IELTS jadi test IELTS di IDP sudah pasti diakui. British Council adalah lembaga internasional milik negara Inggris yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan. British Council ada di lebih dari 100 negara di dunia. Sudah tidak usah diragukan lagi untuk test IELTS di BC karena BC milik pemerintah jadi sudah pasti resmi dan diakui. IALF (Indonesia Australia Language Foundation) merupakan lembag...

Kursus IELTS di Jogja

Teman-teman, kali ini aku akan share beberapa tempat kursus IELTS di Jogja. Apa yang aku tulis ini berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hasil wawancara dari teman yang udah pernah ikut IELTS preparation course .  Berikut ini beberapa tempat kursus IELTS di Jogja : 1.       ELTI Gramedia Alamat       : Jl. Sabirin 6 Kotabaru Yogyakarta. Biaya           : 1.375.000 (Termasuk biaya pendaftaran dan buku) Kursus IELTS di sini diadakan berkali-kali dalam setahun bahkan dalam satu bulan bisa ada dua kelas. Terakhir aku ke sana di bulan Oktober 2016, dibuka dua kelas yakni kelas pagi dan kelas sore. Kelas pagi dimulai jam 10.15 sedangkan kelas sore dimulai jam 18.00. Kursus ini terdiri dari 32 kali pertemuan , di mana setiap minggunya ada 4 kali pertemuan. Kelebihan kursus ditempat ini adalah cukup murah dan tidak ada placement test . Tetapi, menurut orang seperti aku, t...

SIMULASI TEST IELTS DI JOGJA

Test IELTS boleh dibilang cukup mahal dibandingkan dengan test kemampuan Bahasa Inggris lainnya. Selain itu, saat ini banyak institusi yang lebih banyak mensyaratkan test IELTS dari pada TOEFL. Terutama institusi yang ada di Eropa dan Australia mereka meminta hasil test IELTS. Kalau mau daftar WHV (Work and Holiday) Australia yang dibutuhkan juga IELTS. Nah, kalau kita mau test IELTS dan hasilnya nggak memenuhi syarat kan kita merasa sayang dengan uang 3 juta bahkan lebih yang kita keluarkan untuk test IELTS. Mau ngulang test lagi juga pikir-pikir kan karena biayanya yang bisa aku bilang cukup mahal. Buat kalian yang di Jogja kalau kalian mau tau gambaran test IELTS atau mau tau kira-kira kalian bisa mencapai skor berapa, kalian bisa ikut simulasi test IELTS. Ada tiga tempat simulasi test IELTS di Jogja yang bisa kalian pertimbangkan. REAL ENGLISH - IONS Education Biaya simulasi test IELTS : Rp 250.000,- Jadwal : Setiap hari Alamat :Jl. C. Simanjuntak No. 50 Terban...